Cerita Dewasa Pak Polisi Yang Perkasa |
Cerita Dewasa Pak Polisi Yang Perkasa - Perkenalkan, namaku Atik, umurku 28 tahun. Orang mengatakan aku adalah janda kembang, selain karena parasku yg cantik, tubuh sexy, juga karena aku belum dikaruniai anak dari pernikahan dengan suami ku terdahulu yg hanya berumur 1,5 tahun. Aku cerai ketika berusia 26 tahun, dikarenakan tdk tahan dengan perlakuan mantan suamiku yg kasar dan tdk perhatian.
Cerita Sex Terbaru | Tinggi tubuhku 168 cm, dengan ukuran buah dada yg serasi, dan bentuk yg masih sangat bagus serta kencang dan montok. Mungkin karena aku rutin olahraga tiap minggunya, juga pola makan yg sehat. Aku bekerja sebagai pengusaha kue di suatu kota di Jawa Timur. Kali ini akan aku ceritakan kisah yg tdk akan aku lupakan sepanjang hidup.
Langit semakin gelap, mendung bergulung-gulung mulai memenuhi langit kota.
“Aku harus segera mencari tempat berteduh,” pikirku.
Cerita Ngentot | Aku pacu motor maticku dengan tergesa sambil memperhatikan apabila ada tempat yg bisa dijadikan berteduh. Namun, sial bagiku, tak lama setelah itu hujan turun dengan lebatnya, membuat pakaianku basah tak tersisa. Dan tentu saja membuat pakaian dalam yg aku kenakan saat itu tercetak dan terlihat jelas dari luar. Hujan turun begitu derasnya, petir menyambar nyambar, tak mungkin aku meneruskan perjalanan. Walaupun dengan pakaian yg sudah basah kuyup, aku tetap memutuskan untuk berteduh. Akhirnya aku menemukan tempat juga.
Di emperan toko yg sudah tutup itu aku istirahatkan tubuhku dari terpaan air hujan. Tdk ada siapa-siapa di situ, sambil menunggu hujan reda, aku periksa kembali isi jok sepeda motorku, barangkali ada lap bersih yg bisa aku gunakan untuk handuk. Ahh, sial ternyata tdk ada satupun. Sambil meratapi hujan dalam kedinginan itu, aku dikagetkan oleh pengendara lain yg berteduh di tempat itu. Ternyata ia seorang polisi, tergambar dari seragam coklat yg ia kenakan. Mataku terus mengikuti laju motor yg ia gunakan, hingga terparkir dan dimatikan mesinnya oleh empunya.
Polisi tersebut segera melepas helmnya, orangnya sudah cukup berumur, tergambar dari beberapa uban yg terlihat di rambut cepaknya, kutaksir umurnya sekitar 40 an. Kumisnya tebal, dan di pipi dan janggutnya terdapat bekas cukuran brewok yg mulai tumbuh tipis. Tatapannya ramah, sekilas mirip satu tokoh polisi yg kerap aku lihat di televisi. Ahh, namun aku lupa siapa namanya. Orangnya berwibawa, mungkin karena tubuhnya yg tinggi besar dan ditambah kumis tebalnya itu.
“Mbak, mbak.” Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku. Ternyata bapak polisi itu telah berdiri di hadapanku.
“Oh iya Pak, maaf-maafkan saya melamun.”
“Ikut berteduh juga ya mbak, saya tadi pulang kerja, kehujanan ditengah jalan, tdk sempat memakai mantel, katanya sambil mengelap air di tangannya.”
“Oh iya Pak, silahkan, saya juga berteduh kok di sini, tadi lupa tdk bawa mantel, hehehe,” Jawabku sekenanya.
Dari obrolan ngalor-ngidul kala menunggu hujan reda itulah aku mulai mengenal beliau, Namanya Pak Agung, umurnya sekitar 44 tahun, beliau bekerja sebagai polisi. Orangnya tinggi, mungkin sekitar 175 cm, badannya juga besar, masih bagus untuk orang seumuran beliau, ototnya tercetak pada bajunya yg basah saat itu. Perutnya sedang, tdk terlalu buncit. Tangannya berbulu lebat, semakin terlihat ketika terkena air hujan pada sore itu.
“Wah hujannya deras dik Atik.” Sejak tahu namaku, beliau memanggil dengan sapaan dik, biar lebih akrab katanya.
“Iya nih pak, saya sudah hampir satu jam disini, tapi tdk reda-reda juga” Gerutuku.
Obrolan kami semakin cair, dan sudah merembet pada hal-hal keluarga.
“Dik Atik sudah menikah?” Tanya beliau dengan sopan.
“Sudah pak..” Jawabku.
“Wah, sudah punya anak berapa?”, sambungnya.
“Belum punya pak, saya sudah keburu cerai dengan mantan suami saya,”jawabku sambil bercanda.
Beliau agak terkejut.
“Iya to? Wah..”
“Lha bapak sendiri bagaimana?”, sambungku.
Beliau diam, dan mulai menatap hujan yg tdk habis-habisnya itu.
“Saya menikah pada saat umur 30 dik, dan sudah dikaruniai 1 putri, namun sayang. Putri saya meninggal saat masih kecil, istri saya pun menyusul 5 tahun setelahnya karena suatu penyakit, hmmmm”
“Maafkan saya ya Pak”, segera aku putus singkapan duka masalalu itu.
“Saya tdk bermaksud….”
“Ahh, tdk apa kok, santai saja dik.” Sambil wajahnya yg tampan, bersih, dan kebapakkan itu menoleh kearahku dengan bijaknya.
Akhirnya hujan mulai reda ketika hari sudah beranjak gelap. Ketika bersiap untuk pulang, Pak Agung menegurku.
“Dik, mampir kerumah saya dulu yuk. Rumah dik Atik kan masih jauh, masak mau pulang dengan pakaian basah begini?”
Sambil tangannya memegang pundakku.
“Ah tdk apa-apa kok pak, biar saya pulang saja, takut merepotkan Bapak nantinya.”
“Ayolah, tdk ada siapa-siapa kok di rumah, pembantu saya juga sudah pulang sore begini. Bahaya lho naik motor dengan pakaian basah begini, bisa masuk angin. Nanti dik Atik bisa pakai dulu baju almarhum istri saya.” Akhirnya saya mengiyakan juga, tdk enak menolak niat baik pak Agung.
Setelah perjalanan yg tdk terlalu jauh. Sampailah pada suatu rumah yg cukup besar, dan bagus, halamannya luas dan asri. Rumah ini terletak agak jauh dari rumah sekitarnya, mungkin masih tergolong rumah yg baru selesai di bangun. Teriakan Pak Agung dari garasinya membuyarkan lamunanku.
“Ayo masuk, ndak usah sungkan-sungkan,” Ajaknya dengan penuh semangat.
Tanpa menjawabnya, aku segera memarkir kendaraanku di samping motor beliau. Beliau terus mengajakku memasuki rumahnya yg rapi dan bersih. Lampunya telah menyala terang, mungkin ulah pembantunya yg sudah pulang ke rumahnya sendiri. Tdk ada foto kenangan keluarganya di situ, mungkin Pak Agung tdk ingin terlalu larut dalam kesedihan panjang.
“Ayo dik silakan masuk,” sambil beliau membukakan pintu sebuah kamar, dan menyilakan aku masuk ke dalam.
“Dulu ini adalah kamar saya dan alm. istri saya, tapi saya sudah pindah kamar. Silakan mandi dulu, dan pilih saja baju yg cocok, tdk usah sungkan ya.”
Beliau segera berlalu dan melangkah ke belakang. Mungkin mencari air minum ke dapur.
Aku segera masuk ke kamar itu, dan mulai membersihkan diri karena hujan yg deras mengguyur tadi sore. Setelah segar, aku memakai baju alm. istri Pak Agung yg ada di lemari itu. Tdk banyak baju yg tersisa, mungkin sudah diberikan oleh beliau ke orang lain.
Akhirnya aku mengenakan daster yg tdk terlalu tebal sambil aku lapisi dengan jaket untuk menahan dinginnya malam itu, sambil menyembunyikan puting susuku yg tercetak dengan jelas. Aku memang tdk memakai BH dan celana dalam saat itu, apalagi jika bukan karena pakaian dalamku yg sudah basah karena hujan tadi sore. Hawa yg dingin itu semakin membuat tubuhku berdesir, puting susuku mengeras, hembusan angin pada selangkanganpun turut memberi kenikmatan tersendiri.
Aku segera terbangun dari pikiran mesum itu ketika aku dengar kecipak air timbul dengan derasnya dari kamar sebelah. Mungkin pak Agung yg sedang mandi, pikirku. Akhirnya aku keluar ke kamar tamu dan menyalakan TV untuk menghibur diri. Sementara di luar justru hujan turun lagi, dengan tdk kalah derasnya. Aduh, aku mulai bingung bagaimana cara pulang nanti.
Pikiranku buyar ketika pak Agung datang dan duduk di kursi depanku. Sambil metetakkan teh hangat beliau mengatakan,
“Sudah nginep saja barang semalam disini. Lagi pula besok kan hari minggu to?, libur. Apalagi hujannya deras banget lo dik Atik, Saya ndak tega membiarkan dik Atik pulang dalam keadaan hujan begini.” Aku diam tak menjawab, hanya pikiran ini yg bingung memilih. Memilih nekat pulang apa menerima tawaran Pak Agung. Apalagi aku juga takut pulang malam-malam, hujan deras lagi.
Akhirnya aku memutuskan,
“Baik pak saya mohon izin nginap disini saja Pak, barang semalam, mohon maaf merepotkan bapak.”
“Alah, tdk apa-apa kok, saya malah senang kalau ada yg menemani begini. Hahaha.”
Aku baru sadar, ternyata beliau datang tadi dengan telanjang dada, hanya mengenakan sarung yg sudah longgar ikatannya. Ketika beliau sedang asik menonton TV, aku beranikan memandangnya lagi. Benar dugaanku, ternyata dada Pak Agung juga berbulu lebat. Tergambar dari bulu-bulu ditangan nya yg lebat itu. Puting susunya berwarna coklat tua dan tampak kokoh di antara belukar bulu dadanya yg bagus itu. Bulunya ibarat barisan, dari rambutnya, kumisnya yg tebal dan kelihatan kasar, brewoknya, hingga menerus ke dadanya.
Dan akhirnya menerus ke bawah melalui tengah tubuhnya, pusarnya, dan menghilang di balik lipatan sarung nya itu. Ahh, pikiranku semakin tdk karuan, apalagi sudah 2 tahun ini kebutuhan biologis ku tdk terpenuhi. Aku merasa gatal di memek ku. Mungkin juga karena suasana yg bertambah dingin itu.
“Dik Atik bisa mijit?”, Pertanyaan Pak Agung membangunkan dari lamunan.
“Bbbisa Pak?”
“Wah, mantep itu, ayo kita pijit-pijitan. Biar nggak masuk angin. Badan saya juga capek, kerja berat seminggu ini”, sambungnya.
Akhirnya saya yg memijat Pak Agung dahulu, baru kemudian gantian beliau nantinya. Beliau menggelar karpet di depan TV sambil mengambil bantal dari dalam kamar.
“Ayo dik Atik!”
“Baik Pak”. Beliau rebahkan tubuhnya yg bersih berwarna kuning ke coklatan itu di karpet yg sudah di siapkan.
Aku mulai mengurut bagian kakinya terlebih dahulu, sambil aku lumuri dengan minyak pijat. Benar dugaanku, kakinya juga berbulu lebat dan keriting. Pijatanku terus naik pada paha beliau. Aku lihat beliau sudah tertidur, mungkin karena kecapekan dan pijatanku yg memang nyaman. Tak sengaja sarung beliau tersingkap oleh tanganku. Betapa kagetnya aku, ternyata beliau tdk memakai celana dalam. Nampaknya belahan pantatnya yg seksi dan berbulu itu. Aku coba tahan pikiran ini agar tak macam-macam. Akhirnya aku selesai memijat bagian belakang dari tubuh liat dan kokoh Pak Agung.
“Pak, bangun Pak, bagian depannya belum”. Aku bangunkan beliau.
Beliau mengubah posisinya menjadi telentang, tanpa sedikitpun membenahi posisi sarungnya. Akupun dapat melihat barisan bulu kemaluan yg menghilang di balik gulungan sarung yg sudah longgar itu. Sejatinya akupun merangsang melihat tubuh laki-laki gagah dan tampan didepanku itu, apalagi bulu dada dan putingnya yg begitu menggairahkan. Tubuhnya bagus, dan kencang. Buah dari latihan dan orahraga teratur pikirku. Akupun mulai penasaran tentang k0ntol Pak Agung, namun aku tak berani meneruskannya. Aku masih menguasai pikiran jernihku.
Dalam keadaan selangkangan yg mulai basah karena terangsang mengamati tubuh Pak Agung. Aku berkonsentrasi memijat bagian depan tubuhnya itu. Aku mulai dari kepalanya, aku pijat pelan-pelan agar tdk membangunkan beliau. Sesekali aku mengagumi dan kuberanikan membelai kumis yg begitu tebal dan indah itu.
Pijatanku terus berpindah ke bawah, ke kedua tangan beliau yg kekar, dan sampailah di dadanya yg berbulu itu. Sambil memijat, aku bernaikan menekan dan memilin puting susu menggemaskan Pak Agung. Beliau tdk terbangun, hanya sesekali mengeluh keenakan. Aku segera berpindah ke bawah. Tak kusangka k0ntol Pak Agung telah bangun, menantang dan membuat cetakan tegak pada sarungnya. Aku hanya berani memandangnya dan memijat bagian paha dan kakinya saja.
Sambil sesekali mencuri pandang, dan memerkirakan seberapa besar dan panjang senjata milik Pak Polisi ini. Aku telah selesai dari pijatanku, sambil berlalu melangkah ke kamarku. Aku tdk enak membangunkan Pak Agung dan menagih janji pijatannya. Akhirnya aku tinggalkan beliau tertidur di kamar tamu. Sambil menyelimuti beliau karena udara yg amat dingin malam itu, aku matikan TV dan melangkah ke kamar yg telah dipersiapkan untukku untuk tidur.
Aku berusaha untuk tidur cepat malam itu, agar pikiran tentang Pak Agung itu tdk keterusan. Ahh, namun apa daya, tuntutan kehausan akan belaian laki-laki terus mendesakku untuk terus membayangkan Pak Agung, bahkan hingga dalam tidurku. Tentang sosoknya yg kebapak-bapak an, kumis tebalnya, bulu dadanya yg lebat, puting sususnya yg indah, tubuhnya yg bagus, liat, tdk terlalu kekar, sedang-sedang saja. Dan tentang k0ntolnya yg terbayang dalam cetakan sarung itu.
Aku terbangun pagi itu dengan perasaan terkejut, selimut yg aku pakaikan untuk menutupi tubuh Pak Agung semalam kenapa menutupi tubuhku. Ketika aku membuka selimut, daster belahan dada rendah yg kupakai pun tersingkap hingga menampakkan salah satu payudaraku. Jangan-jangan semalam Pak Agung?
Pikiran macam-macam itu mulai merasuki pikiranku. Ataukah aku sendiri yg bermasturbasi hingga membuat ini semua terjadi?
Apakah Pak Agung melihat semua ini?
Deretan pertanyaan itu memenuhi pikiranku, hingga aku memutuskan untuk berganti pakaian dengan pakaianku sendiri yg sudah lumayan kering karena terpaan dari kipas angin semalaman.
Akupun bersiap untuk pamit pulang kepada beliau. Aku panggili Pak Agung, namun tak ada jawaban. Hingga aku melihat beliau sedang olahraga ringan di samping rumah. Dengan kaos basah yg diletakkannya di atas tanaman hias di pekarangan.
Cukup lama aku mengamati tingkah polah beliau selama berolahraga itu. Tubuhnya berkilau keringat terkena terpaan matahari pagi, tubuhnya terlihat lebih menggairahkan dengan keringat yg membasahi tubuhnya itu. Bulu-bulu dadanya tampak lebih jelas, putingnya begitu menantang. Celana pendeknya pun sudah basah di beberapa bagian. Akhirnya beliau sadar aku memerhatikannya.
“Oh dik Atik, sudah bangun ya? Tadi saya baru lari pagi, mau ngajak dik Atik tapi masih tidur, ndak enak ngebangunin, haha.”
Sebenarnya aku ingin menanyakan perihal kondisi tubuhku semalam, apakah beliau melihat payudaraku yg tersingkap. Namun aku terlalu sungkan, aku putuskan untuk langsung pamit kepada beliau, dengan alasan ada pekerjaan yg harus segera ku selesaikan. Akhirnya aku pulang dari rumah beliau dengan perasaan yg campur aduk, antara sangat berterimakasih, hingga kagum atas kebaikan dan perhatian beliau.
Selepas pertemuanku dengan Pak Polisi Agung tempo hari, sampai menginap di rumah beliau segala. Entah kenapa aku menjadi lebih sering bertemu dengan beliau. Baik itu karena alasan pekerjaan, yg beliau memesan kue untuk hadiah pernikahan koleganya, hingga aku yg kebetulan bertemu di jalan, atau beliau yg sengaja main ke rumahku. Karena seringnya bertemu, dan merasa banyak kenyamanan ketika bertemu.
Akhirnya aku menerima lamaran Pak Agung untuk menjadi istrinya. Meskipun usia kami terpaut 10 tahun lebih, tapi kami saling mencintai. Dan aku sangat bersyukur dipertemukan dengan beliau. Dengan sifat kebapak-bapakannya, wibawanya, kelembutannya, dan kumis dan bulunya yg begitu terbayang setiap malam.
Akhirnya, malam yg sama-sama kami nantikan itu datang juga, selepas capek melayani tamu-tamu undangan kamipun memutuskan untuk istirahat dulu sore harinya, menghimpun tenaga untuk malam yg istimewa pada malamnya.
Semenjak hari pernikahan aku tinggal di rumah suamiku yg baru, Pak Agung, hanya berdua dengannya. Aku terbangun dari tidurku, mendapati hari sudah mulai senja, sinar matahari yg teduh menerobos melewati jendela kamar kami. Disampingku masih tertidur Pak Agung, dengan mengenakan kaos singlet dan celana pendek.
engan gugup. Beliau hanya tersenyum, menyaksikan aku yg kikuk sampai lupa menyebutnya dengan sapaan mas. Memang setelah menikah rasanya lebih nyaman dengan sebutan mas, meskipun beliau tak mempermasalahkannya.
Belum berhenti rasa kikukku, tangan beliau tiba-tiba berpindah menangkup kedua buah susuku yg menantang itu. Kurasakan putingku mulai mengeras karena rangsangan beliau di perut dan segala pujiannya tadi. Aku mendesah ketika jari-jarinya yg besar memijit putingku dari luar,
“aahhhhhhh, mas…” Beliau hanya diam sambil tersenyum.
Aku yg sudah keenakan dan merem melek harus menahan diri. Beliau tdk jadi meneruskan permainnya, rupanya ia begitu ahli dalam mengendalikan nafsu perempuan, pikirku. cerita sex
“Aku tak mandi dulu ya dik, biar segar, dan capekku hilang, nanti kita teruskan.” Ucapnya sambil mengecup pundakku dari belakang, beliau melangkah kekamar mandi.
“Hufftttt, kenikmatanku tertunda,” bathinku..
Sambil menunggu Mas Agung selesai mandi. Aku sempatkan untuk mengeringkan rambut yg masih sedikit basah karena mandi tadi, sambil melihat pekarangan rumah dari jendela kamar. Entah kenapa, pekarangan rumah ini begitu indah dan asri, membuat hatiku menjadi tenang. Sampai tiba-tiba Mas Agung telah di belakangku.
“Hayo, ngelamun ya?” Sambil tangannya memelukku dari belakang.
“Ahh, nggak kok mas,” jawabku sekenanya.
“Ayo kita mulai !”, ucapnya dengan antusias.
Beliau langsung menerkam susuku dengan kedua tangannya, diremasnya dengan perlahan, sambil bibirnya yg berkumis tebal mengulum kupingku. Akupun geli di buatnya. Tangannya kini tak lagi hanya meremas dengan perlahan, tapi di selingi dengan cubitan ketika menemukan putingku yg telah mengeras itu.
Tangan kirinya berpindah dan bergerilnya ke bawah, menyelusup dari belakang, dang bermain-main di belahan pantatku, sambil meremas-remasnya. Akupun hanya melenguh dibuatnya. Akupun tak mau kalah, dengan susah payah, tanganku yg tadinya memegang tangan Mas Agung yg meremasi payudaraku, berpindah kebelakang dan kutarik ikatan handuk yg dikenakannya. Jadilah beliau sekarang telanjang bulat di belakangku. Hingga kurasakan k0ntolnya menyentuh tangan dan bokongku..
“Ahh, kamu udah ndak sabar ya?” tanpa menjawab, akupun langsung menggenggam k0ntolnya itu dengan manja.
Ternyata k0ntolnya sudah sangat tegang. Ukurannya cukup besar dan panjang, tanganku agak kesulitan menggenggamnya.
“Ahhhh, dik Atik.” Beliau meracau ketika ku sentuh lubang kencingnya.
Karena terlalu asik bermain di belakang, aku tak sadar ternyata kembanku telah luruh sebagian, hanya tersangkut tangan beliau yg kini telah berpindah bermain di memekku. Payudaraku yg bergantung indah, dan menantang itu sekarang lebih leluasa untuk di remasnya. Jari-jarinya kadang berhenti untuk memilin dan menarik putingku. Menciptakan sensasi yg enak,
“Ahhhh, terusss masss”, desahanku lebih keras ketika jari tengahnya mulai menelusup masuk ke liang vagianaku, menggeseknya dengan perlahan.
Aku merasakah memekku telah mulai basah dengan cairanku sendiri, aku sudah tdk cukup kuat berdiri dengan tegak. Tangan beliau yg kanan berpindah ke mulutku, memasukkan jari telunjuknya ke mulutku. Akupun paham dan langsung mengulumnya dengan manja.
Dengan jari yg basah oleh air liurku, beliau mempermainkan putingku dengan intens. Memencet, memilinnya, cukup lama beliau mempermainkan putingku seperti itu, bergantian yg kiri dan kanan. Beberapa saat kemudian beliau berindah ke depan, beliau memagut bibirku dengan lembut dan rakus, kumisnya yg tebal itu begitu menggelitik bibirku. Cumbuan beliau turun ke dadaku, mula-mula hanya dijilatinya saja, namun kini sudah di lahap, nampaknya Mas Agung berusaha melahap seluas-luasnya. Kadang giginya mengenai putingku yg sudah sangat mengeras. Membuatku tambah mengerang kenikmatan. Cukup lama Mas Agung bermain dan menyedoti payudaraku dan putingnya.
“Mmmmbb, payudaramu enak sekali sayang, kenyal.” Gumamnya sambil terus menyenyot puting susuku.
Sesekali di gigitnya kecil-kecil putingku, dan dicupanginya payudaraku hingga menciptakan beberapa bekas kemerahan. Setelah cukup puas bermain di dadaku. Cumbuannya berpindah turun ke selangkanganku. Lidahnya dan kumisnya yg kasar itu begitu membuat kau melayg, hingga,
“maasssss, aku tak tahaaaaaaan laaagiii !” Akupun mencapai orgasmeku dengan dahsyat, orgasme yg tercapai tanpa penetrasi dari beliau. Hebat sekali Mas Agung, bathinku..
Akupun lemas tak berdaya, peganganku pada kusen jendela mulai tdk erat lagi. Mas Agung dengan paham langsung menangkap tubuh lemas ku yg telah terpuaskan dengan permainan jari dan mulutnya itu. Beliau kemudian membopongku ke tempat tidur dan merebahkanku di sana. Aku melihat beliau berdiri di samping tempat tidur, raut muka yg bahagia, dan kumisnya yg kembang kempis dan basah di beberapa bagian, mungkin terkena cairan cintaku tadi, pikirku.
Tubuhnya penuh keringat, membuatnya begitu menggairahkan. K0ntolnya kini masih belum tegak sempurna. K0ntol yg berukuran besar dengan panjang sedikit di atas rata-rata itupun seperti mengengangguk-ngangguk mendiami bulu kemaluannya yg tdk terlalu lebat. Dengan tenaga yg tersisa, akupun segera bangun dan menarik tubuh Mas Agung hingga terduduk di sampingku. Akupun segera mendorongnya hingga rebah di samping tempatku tadi.
“Sekarang giliranku Mas,” bathinku.
Akupun segera menciumi bibirnya dan bermain-main dengan kumisnya yg menggemaskan itu. Lidah kami saling bertaut, kami berciuman dengan panasnya. Tanganku pun tak tinggal diam, sambil meraba dadanya yg liat dan mempermainkan puting susunya itu.
Kini ciumanku berpindah ke dadanya yg berbulu lebat itu, aku jilati setiap bagian dada bidangnya itu, tak kulewatkan sedikitpun tubuh tegap dengan dada yg indah, berbulu, dan menggairahkannya. Sampailah akau pada puting susunya yg berwarna coklat muda, berdiri dengan kokohnya di bulu dadanya yg membelukar. Aku jilati dan aku emuti puting susunya, sambil sedikit menggigiti dan menarik-nariknya.
Rupanya beliau terangsang cukup hebat keperlakukan seperti itu. Kepalaku ditekannya sambil tangannya menyosongkan dadanya agar bisa lebih dalam akau mengenyotinya. Kini jilatanku terus berpindah ke bawah hingga ku temukan kejantanan beliau yg telah menantang. K0ntol beliau sesuai dengan tubuhnya, bersih, coklat kekuningan, dengan otot-otot yg sangat menonjol. Membuatnya menjadi sangat indah dan kokoh. Tanpa basa-basi lagi aku jilat lubang kencingnya. Beliau tersentak,
“aaaaaaaahhhhh”. Tangannya kini memegangi tanganku yg satunya yg dari tadi mempermainkan puting susunya tanpa bosan.
Aku semakin giat dan semangat mengulum dan menjilati k0ntol Mas Agung, sambil kusertai dengan menyedotnya sekuat tenaga agar beliau cepat keluar. Sesekali ku kulum sambil aku tarik kepala k0ntolnya yg menyerupai jamur itu dengan rakus. Akhirnya tak salah, lenguhan Mas Agung semakin keras, tangannya kini memegangi dan menenggelamkan wajahku ke selangkangannya, membuatku menelan lebih jauh k0ntolnya itu, meskipun tak sepenuhnya muat. Akhirnya muncratlah sperma Mas Agung ke mulutku,
“aahhh, sayanggggg, aku keluaaaarr…”
“Minum dulu mas..”
Aku membawakannya teh manis sebelum meneruskan permainan kami yg begitu hebat tadi. Sambil beliau meminum tehnya, aku duduk di sampingnya menunggu, sambil tak bosan-bosan tanganku merangkul punggungnya yg kokoh, dan membelai dadanya yg bidang dan berbulu lebat itu serta mempermainkan putingnya.
“Ahh segarrrr,” ucapnya setelah menghabiskan segelas teh manis buatanku.
Sambil beliau mengeluarkan ekspresi siap tempur, dengan kumis lebatnya yg mengembang. Akupun tertawa melihatnya. Tanpa basa-basi lagi beliau langsung merebahkanku, dan menindihku. Bibir kami berciuman dengan ganasnya, lidah kami saling melilit. Ciuman beliau turun ke payudaraku yg masih penuh dengan bekas air liur dan cupangannya tadi. Kumisnya yg tebal itu mencoba menggelitik dengan menggesek-gesekkan pada susuku. Mulutnya tak kuasa untuk membiarkan putingku terpampang begitu saja.
Dikulumnya putingku dengan gemas, sambil sekali-kali di sedotnya dengan kuat-kuat. Menimbulkan sensasi luar biasa ketika sedotan kuatnya itu beradu dengan rangsangan dari kumis lebatnya itu. Akhirnya beliau bangkit, memposisikan diri diantara selangkanganku, dibukanya kakiku untuk menciptakan ruang yg lebih luas. Kini k0ntolnya telah tegang kembali, siap untuk menyetubuhiku, memberikan kepuasan seksual lebih jauh.
Pada mulanya beliau hanya menggesek-gesekkan ujung k0ntolnya pada mulut memekku,
“masss, masukkkinn, aku sudahhh tak tahannn,”
Ceracauku menahan nafsu yg sudah mencapai ubun-ubun.. Beliau hanya tersenyum menyaksikan aku begitu gelisah tak sabar menanti kan batang nya itu masuk ke dalam liang memekku. Akhirnya beliau memasukkan sedikit demi sedikit.
“Ahhh”, aku menggigit bibir bawahku sambil menahan sedikit rasa sakit.
Mungkin karena telah cukup lama liang kenikmatan ini tak menerima tongkat pemuas, pikirku.
“Arrgghhh, punyamu sempit sekali dik”. Beliau berhenti sebentar untuk mengambil nafas, dan membiarkanku terbiasa dengan k0ntolnya yg besar itu.
Dengan penuh semangat, Mas Agung terus mengayunkan pantatnya ke depan, mendorong kejantanannya agar lebih masuk ke dalam.
“Ahhhh, desahnya, Begitu legit”, ceracaunya. Akhirnya k0ntol Mas Agung benar-benar terbenam seutuhnya dalam liang kewanitaanku.
Rasanya penuh sesak, dan begitu mengganjal di bawah sana. Beliau membiarkan k0ntolnya terbenam sepenuhnya di dalam memekku, sambil tangannya meremasi payudaraku.
“Ahhh, dik, sempppit sekali memekmu ini”. Beliau mulai mengayunkan pantatnya maju mundur, batang itupun mulai ke luar masuk liang kewanitaanku dengan lebih lancar sekarang.
Semakin cepat, dan semakin cepat mas Agung menggenjotku, bagai tak kenal lelah, kuat sekali stamina Mas Agung, pikirku. Aku hanya mendesah dan menjerit kecil sambil menggigit bantal. Staminaku pun rasanya seperti terkuras, di genjot habis-habisan oleh Mas Agung, tangannya yg kekar itu kini bertumpu di samping tubuhku, kadang meremasi susuku dengan gemasnya. Akupun tak tinggal diam, aku remasi dada Mas Agung, aku tarik-tarik putingnya, aku belai dadanya yg berbulu yg meneteskan keringat pada tubuhku dikarenakan genjotannya yg semakin keras.
“Massssss, aku keluarrr”. Aku berteriak tertahan, sambil tanganku merangkul lehernya. Hingga tubuhnya itu ambruk, lengket menimpa tubuhku.
Tubuh kami yg penuh dengan peluh pun berpelukan dengan eratnya. Dadanya yg berbulu begitu menggelitik ketika bergesekan dengan payudaraku. Orgasme kedua yg hebat telah aku alami, dan Mas Agung sepertinya belum apa-apa. Dengan sabar dan telaten beliau membiarkanku menikmati gelombang orgasmeku, mendiamkan posisi berpelukan kami.
Sesaat setelah merasa telah cukup, Mas Agung bangkit dan menciumi ku, dari bibir, hingga payudara ku yg montok itu kembali di susunya. Setelah birahiku sedikit bangkit dan aku telah siap, Mas Agung merebahkan tubuhnya disampingku. Rupanya beliau begitu telaten, tdk egois dengan memaksakan pemuasan nafsunya, tapi dengan sabar menungguku hingga siap, dan birahiku timbul kembali.
Mas Agung mulai memasukkan k0ntolnya dari arah samping, dengan aku yg masih rebah dengan telentang. K0ntolnya yg masih kokoh itupun menerobos memekku dengan sangat mulus karena melimpahnya cairan cinta yg baru aku keluarkan tadi. Beliau menempatkan kaki kananku di di atas pinggangnya. Tubuhnya sedikit miring dan mulai meggenjotku dari samping dengan perlahan, kemudian semakin cepat. Hanya desahan yg mengiringi sodokannya, aku hanya merintih kenikmatan sambil berpegangan pada tangan kekar beliau yg berpegangan lengan kiriku.
“Ahhh, enak maaas”. Kadang tangannya tak lagi berpegangan pada lenganku, tapi pada payudaraku, sambil meremas-remasnya.
Kini Mas Agung mencabut k0ntolnya yg mengkilat dan masih tegang itu, sambil memintaku berganti posisi merangkak. Dengan sigap Mas Agung menyodokkan k0ntolnya dengan cepat, bahkan sangat cepat, hingga terdengar nyaring bunyi kecipak benturan antara buah zakar dan kulit pahaku. Juga benturan kulitnya dengan pantatku.
Terasa sekali k0ntolnya masih keras, dan staminanya masih sangat kuat. Dengan cepat beliau mencabut k0ntolnya, dan memposisikan diriku telentang. Beliau lalu menubrukku dan memasukkan k0ntolnya dari arah depan. Mirip posisi yg pertama tadi, hanya saja kini tubuhnya sepenuhnya ambruk menimpa tubuhku. Tubuh kami lekat satu sama lain karena keringat yg cukup banyak. Mas Agung begitu cepat memompaku dengan tongkat kokohnya itu.
“Mas, aku mau saaampppaiii.” Aku meracau, berteriak tertahan.
“Bareng dikkk, aku juga mau keluarrrr..” Kurasakan k0ntolnya mulai berkedut-kedut.
“Ahghhghh, dik, aku mau keluarrrr…” Dengan sodokan yg lebih cepat dan keras, k0ntol Mas Agung seperti mencapai rahimku.
Akupun meracau, mendesah dengan keras, merasakan orgasmeku akan datang lagi.
“Aghghghhg, aku keluaaaarrrr.” Keluarlah cairan orgasmeku yg ketiga kalinya bersamaan dengan orgasme dahsyat Mas Agung. Di tembakkannya air mani yg begitu banyak bebarengan dengan cairan cintaku. Membuat selangkanganku begitu becek, sampai-sampai meluber ke pantat dan mengenai lubang anusku.
Sungguh persetubuhan ini begitu membuat tubuhku begitu terasa capek. Namun aku sangat puas dengan permainan yg begitu hebat dari suamiku ini. Setelah orgasme hebat tadi, kami masih saling berpelukan, tanpa merubah posisi tubuh kami, dengan Mas Agung yg masih menindihku. Beliau akhirnya mencabut k0ntolnya yg masih setengah ereksi dan menciumku dengan begitu hangat, dan merebahkan diri di sampingku.
“Ahhh, kamu hebat dik, vagianmu begitu keset, sempit..” puja-puji keluar dari mulutnya.
Aku sekali lagi dibuatnya tersanjung. Tanpa menjawab, aku pun mencium bibirnya dengan begitu lama dan erat, menikmati kegelian oleh kumis lebatnya itu, sambil mengucapkan rasa terimakasih dan kebanggan atas Mas Agung di dekat telinganya. Beliau hanya tersenyum dan kemudian memelukku dengan erat. Aku rebahkan kepalaku di dadanya yg menggairahkan itu, sambil terus membelai bulu dan perutnya yg kokoh. Tak Lama ternyata aku tertidur. Aku sadar ketika Beliau membangunkanku untuk makan malam.
“Dik, ayo bangun dulu,” sambil membelai wajahku.
“Sudah jam 9 malam lho, kamu pasti lapar, ayo makan dulu,” sambil dikecupnya puting susuku dengan mesra.
Tak bisa dipungkiri, perutku memang sudah sangat lapar, sejak persetubuhan luar biasa berjam-jam yg baru aku alami dengan Mas Agung tadi. Kamipun makan bersama, karena begitu lapar, aku tak sempat memakai pakaianku kembali, membiarkan tubuhku telanjang bulat tanpai sehelai benangpun. Mas Agung hanya senyum-senyum genit memperhatikan aku makan dengan lahapnya dengan keadaan tubuh yg polos terbuka. Baca Cerita Dewasa Lainnya Disini...